Kasepuhan Citorek Kelola Rest Area Gunung Kendeng di Lebak

Oleh : Dika Setiawan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Lebak, Banten resmi menyerahkan Rest Area Gunung Kendeng kepada Kasepuhan Citorek untuk dikelola guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan Masyarakat Adat.

Penyerahan Rest Area Gunung Kendeng yang berlangsung di desa Citorek Timur, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak pada 15 September 2024 ini turut disaksikan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, Ketua Pelaksana Harian Daerah AMAN Banten Kidul Jajang Kurniawan serta komunitas Masyarakat Adat Afrika Tengah (REPALEAC).

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak  Imam Rismahayudin mengatakan Rest Area Gunung Kendeng ini sudah bisa dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Wewengkang Citorek. Imam minta agar fasilitas Rest Area Gunung Kendeng yang baru diresmikan ini  dijaga dan dirawat.

“Rest Area Gunung Kendeng ini asset Masyarakat Adat Citorek, saya titip agar dijaga dan dirawat,” kata Imam Rismahayudin dalam sambutannya di acara peresmian Rest Area Gunung Kendeng pada Minggu, 15 September 2024.

Rest Area Gunung Kendeng terletak di kawasan hutan adat Kasepuhan Citorek, Desa Citorek Timur. Secara administrasi, Rest Area Gunung Kendeng berada di Desa Citorek Timur, namun Rest Area ini dikelola oleh lima desa yang ada di Wewengkon Kasepuhan Citorek.

Kelima desa tersebut adalah Citorek Timur, Citorek Barat, Citorek Sabrang, desa Citorek Kidul, Citorek Tengah.

Imam menerangkan bagi pengunjung yang datang ke wilayah adat Wewengkang Kasepuhan Citorek, bisa mendapatkan informasinya di Tourism information Center (TIC) Rest Area Gunung Kendeng.

“Di Rest Area ini juga ada Tourism Information Centre tentang Wewengkon Citorek,” imbuhnya.

Imam mengatakan Rest Area Gunung Kendeng ini bisa dikembangkan untuk kemajuan sektor pariwisata yang ada di wilayah adat Wewengkon Citorek. Namun, pengembangan tersebut hendaknya dibarengi dengan pengembangan sumberdaya manusianya. Sebab, sebutnya, kebanyakan sektor wisata saat ini hanya memikirkan cara untuk mendapatkan penghasilan dari wisata tersebut tapi lupa menjaga kebersihan lingkungannya.

Imam mencontohkan permasalahan wisata yang paling utama saat ini adalah pengelolaan sampah. Dikatakannya, Masyarakat Adat Citorek harus memperhatikan pengelolaan sampah di tempat wisata ini.

“Ini kuncinya, pengelolaan sampah di tempat wisata harus diperhatikan,” tegasnya.

Dadang selaku Kepala Desa Citorek Timur mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Lebak atas kepercayaannya menyerahkan Rest Area Gunung Kendeng kepada Masyarakat Adat Wewengkon Citorek. Dadang mengatakan meskipun Rest Area Gunung Kendeng ada di Citorek Timur, tapi ini untuk Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek yang terdiri dari lima desa.

“Rest Area Gunung Kendeng ini dibangun untuk meningkatkan pendapatan Masyarakat Adat Wewengkon Kasepuhan Citorek dari sektor wisata,” terangnya.

Dadang menyatakan dengan adanya pengembangan sektor wisata di Rest Area Gunung Kendeng ini, Masyarakat Adat Wewengkon Citorek bisa berdaulat secara ekonomi. Ia menambahkan kreativitas Masyarakat Adat bisa dituangkan dalam aktraksi pariwisata.

“Ini kesempatan bagi Masyarakat Adat Wewengkon Citoerk untuk menunjukkan kreativitasnya guna meningkatkan kesejahteraan,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Ada dari Banten Kidul

Sekjen Resmikan Gerai AMAN Banten Kidul

Oleh Dika Setiawan

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi meresmikan Gerai AMAN Banten Kidul di Rest Area Gunung Kendeng, Kasepuhan Citorek, Desa Citorek Timur, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten pada Minggu, 15 September 2024.

Gerai yang merupakan unit usaha dari Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) ini sepenuhnya beroperasi dibawah naungan Pengurus Daerah (PD) AMAN Banten Kidul.

Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi menyatakan selamat atas peresmian Gerai AMAN Banten Kidul ini. Ia mengatakan Gerai ini merupakan wadah untuk Masyarakat Adat dalam upaya mengembangkan ekonomi kreatif.

“Semoga ke depannya, Gerai AMAN Banten Kidul bisa berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh Masyarakat Adat Banten Kidul,” kata Rukka dalam sambutannya saat meresmikan Gerai AMAN Banten Kidul.

Ketua Pengurus Harian PD AMAN Banten Kidul, Jajang Kurniawan memiliki harapan besar terhadap beroperasinya Gerai AMAN Banten Kidul. Ia menjelaskan latarbelakang berdirinya gerai ini dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi Masyarakat Adat Banten Kidul. Dengan adanya gerai ini, sebut Jajang, diharapkan bisa mendorong ekonomi kreatif Masyarakat Adat.

“Ini tujuan kita mendirikan gerai, menjadi wadah untuk pemasaran produk-produk Masyarakat Adat agar bisa mendorong ekonomi kreatif,” jelasnya.

Jajang mengatakan wilayah adat Banten Kidul kaya akan sumberdaya alam. Potensinya juga banyak sekali dari segi pariwisata, kuliner, kerajinan tangan dan juga budaya. Tapi sayangnya, semua potensi itu belum terkelola dengan baik.

Melalui pendirian Gerai AMAN Banten Kidul ini, Jajang berharap semua potensi itu bisa dikelola untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan Masyarakat Adat.

“Masyarakat Adat kita mempunyai kreativitas dan kemampuan dalam berkarya. Saya optimis, mereka dapat memanfaatkan gerai ini untuk mengembangkan kemampuannya,” imbuhnya.

Jajang menerangkan nantinya, Gerai AMAN Banten Kidul ini bisa memasarkan berbagai jenis produk asli dari Masyarakat Adat. Kerajinan Masyarakat Adat bisa ditingkatkan produksinya, demikian juga dengan makanan ringan. Masyarakat Adat yang senang bercocok tanam akan didukung.

“Pemasarannya juga kita bantu,” tegasnya.

Jajang menambahkan Gerai AMAN Banten Kidul bisa menjadi solusi dalam menghadapi persoalan ekonomi yang dihadapi Masyarakat Adat, termasuk pemuda adat. Tidak sedikit  pemuda adat pergi ke kota untuk mencari kerja. Menurut Jajang, ini ancaman nyata akan kepunahan Masyarakat Adat sebab generasi muda yang nantinya akan meneruskan adat dan tradisi justru meninggalkan kampung.

“Bisa kita lihat, banyak anak muda merantau ke kota untuk mencari kerja karena perputaran ekonomi di kita tidak berjalan,” ujar Jajang dengan nada prihatin melihat kondisi ini.

Melihat kenyataan ini, Jajang mengajak pemuda adat untuk kembali ke kampung membangun perekonomian Masyarakat Adat. Setidaknya, sebut Jajang, Gerai AMAN Banten Kidul yang baru diresmikan ini bisa memberikan harapan bagi Masyarakat Adat, terutama pemuda adat untuk mengembangkan kemampuannya di kampung. Menurut Jajang, ini penting agar nanti tidak ada lagi pemuda adat yang merantau dengan alasan mencari kerja di kota.

“Kita berharap Gerai AMAN Banten Kidul bisa menjadi solusi dalam menghadapi persoalan ekonomi yang dihadapi Masyarakat Adat,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Banten Kidul

Kasepuhan Ciseel Gabung Jadi Anggota AMAN Banten Kidul

Oleh Chiska Putri Sartika

Anggota komunitas AMAN Banten Kidul bertambah menyusul disepakatinya Kasepuhan Ciseel menjadi anggota AMAN dalam Musyawarah Adat yang diselenggarakan bersamaan dengan rapat pemilihan pejabat Ketua Pengurus Harian AMAN Banten Kidul.

Musyawarah yang dihadiri para tetua adat dari berbagai komunitas Masyarakat Adat di Banten dan Jawa Barat ini menghasilkan kesepakatan menerima Kasepuhan Ciseel menjadi anggota AMAN Banten Kidul. Kasepuhan Ciseel merupakan rendangan atau semacam cabang dari Kasepuhan Cicarucub.

Ketua Dewan AMAN Daerah Banten Kidul Sukanta mengatakan jumlah Komunitas Masyarakat Adat anggota AMAN Banten Kidul saat ini ada 16 (enam belas) yang tersebar di 4 Kabupaten dan berada di 2 Provinsi yakni  Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten dan Kabupaten Sukabumi serta Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat.

Sukanta mengatakan wilayah kerja AMAN Banten Kidul cukup luas sehingga dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak demi mewujudkan Masyarakat Adat Kasepuhan yang mandiri, berdaulat dan bermartabat.

Sementara itu, Ketua Adat Kasepuhan Ciseel, Abah Arat menyatakan setelah kesepakatan ini, dirinya  akan menghadap Abah Oyot selaku Ketua Adat Kasepuhan Cicarucub.

“Saya mau meminta izin ke Abah Oyot untuk menjadi anggota AMAN Banten Kidul,” ujarnya, sembari menerangkan Kasepuhan Cicarucub merupakan komunitas adat anggota AMAN Banten Kidul sejak tahun 1999.

 

Nakhoda Sementara AMAN Banten Kidul

Pada saat bersamaan gabungnya Kasepuhan Ciseel menjadi anggota AMAN Banten Kidul, Jajang Kurniawan atau yang akrab dipanggil Jaro Jajang diberi kepercayaan menakhodai sementara kepengurusan AMAN Banten Kidul setelah Lili Herdiana mengundurkan diri sebagai Ketua karena telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jajang yang berasal dari Kasepuhan Citorek ini diangkat menjadi Pejabat Ketua Pengurus Harian AMAN Banten Kidul sampai terpilihnya Ketua definitif hasil Musyawarah Daerah yang rencananya akan dilaksanakan pada Januari 2025.

“Masa tugas saya hanya dua tahun, mulai dari akhir tahun 2023 hingga awal Januari 2025,” ungkap Jajang usai ditetapkan sebagai Pejabat Ketua PH AMAN Banten Kidul dalam rapat pengurus di Kasepuhan Ciseel, Desa Cikatomas, Kecamatan Cilograng Lebak, Banten pada 23 Desember 2023.

Jajang terpilih secara aklamasi dalam rapat sebagai Pejabat Ketua PH AMAN Banten Kidul setelah namanya diusung oleh pengurus. Rapat Pengurus Daerah AMAN Banten Kidul ini dipimpin oleh Sukanta sebagai Ketua Dewan AMAN Daerah Banten Kidul.

Sebelumnya, Jajang menjabat sebagai anggota Dewan AMAN Daerah (Damanda) Banten Kidul. Ia juga pernah menjabat sebagai Dewan AMAN Nasional (Damannas) region Jawa pada periode 2012-2017

Jajang menyatakan terima kasih atas kepercayaan pengurus padanya. Ia bertekad dalam dua tahun ini akan meningkatkan kerja-kerja organisasi di Pengurus Harian AMAN Banten Kidul. Ia juga akan meneruskan dan mempertahankan program-program yang sudah baik dilakukan oleh kepengurusan sebelumnya.

“Kita akan majukan organisasi AMAN ini bersama-sama,” katanya

Lili Herdiana menyatakan siap membantu kerja-kerja organisasi selanjutnya meski tidak menjabat sebagai Ketua. Ia mengaku harus mengundurkan diri karena baru saja diangkat menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara.

“Didalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AMAN tidak memperbolehkan Aparatur Sipil Negara untuk menjabat menjadi Ketua Pengurus Harian, namun sebagai kader AMAN saya siap membantu untuk kerja-kerja organisasi selanjutnya,” kata Lili Herdiana.

Lili menyatakan mohon maaf yang sebesar-besarnya baik kepada pengurus AMAN Daerah Banten Kidul, maupun kepada komunitas anggota AMAN Banten Kidul apabila selama menjabat sebagai Ketua Pengurus Harian AMAN Banten Kidul banyak kesalahan dan kekurangan.

Masyarakat Adat Kasepuhan se-Banten Kidul Mengadakan Konsolidasi dan Rapat Kerja

Oleh Sucia Lisdamara

Masyarakat Adat Kasepuhan se-Banten Kidul yang berjumlah kurang lebih 300 orang berkumpul di Kasepuhan Bayah, tepatnya di Vila Suma, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Pertemuan yang dilangsungkan pada tanggal 10-11 Desember 2023 tersebut, merupakan konsolidasi dan rapat kerja, serta penguatan dan pembinaan ideologi Pancasila bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Se-Banten Kidul.
Masyarakat Adat Kasepuhan yang hadir terdiri dari empat kabupaten, di antaranya Kabupaten Pandeglang, Lebak, Bogor, dan Sukabumi. Selain didukung oleh Pengurus Daerah AMAN Banten Kidup, kegiatan ini juga didukung oleh Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak.
Agenda pada Minggu malam, 10 Desember 2023, yaitu konsolidasi dan rapat kerja Masyarakat Adat Kasepuhan Se-Banten Kidul yang difasilitatori oleh Rozak Nurhawan. Setelah konsolidasi dan rapat kerja selesai, Masyarakat Adat Kasepuhan yang hadir dihibur oleh hiburan tradisional dari grup musik Pepadi Lebak.
Sedangkan pada tanggal 11 Desember 2023, kegiatan dimulai dengan pembukaan yang di dalamnya terdapat beberapa hiburan atau penampilan. Di antaranya penampilan angklung buhun dan rengkong dari Kasepuhan Ciherang, tari Jaipongan dari Nimas Larasati Nurjaman Incu Putu Kasepuhan Citorek, Iweng Fals dari Ikon Prestasi Pancasila, dan Pepadi Lebak.
Pembukaan ini juga dihadiri oleh Forkopimcam Bayah, para kepala desa se-kecamatan Bayah, pejabat ahli madya BPIP. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Kesbangpol Kabupaten Lebak, yakni Bapak H. Sukanta dengan membunyikan angklung buhun.

Setelah acara pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan dialog umum yang dimoderatori oleh Aji Setiakarya (pendiri Sultan TV), dengan beberapa tema di antaranya:

  1. Urgensi RUU Masyarakat Adat, dengan narasumber Henriana Hatra (Wakil Ketua DAMANNAS)
  2. Penyuluhan Hukum: Mekanisme Restorative Justice, dengan narasumber dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Lebak.
  3. Hubungan antar organisasi Masyarakat Adat, dengan narasumber Junaedi Ibnu Jarta (Ketua MPMK – DPRD Kabupaten Lebak)
  4. Penyusunan Strategi Komunikasi, dengan narasumber dari BPIP.

Adapun rekomendasi yang dihasilkan dari kegiatan ini, di antaranya:

  1. Inventarisasi Masyarakat Adat yang belum ada di dalam PERDA Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.
  2. Konsolidasi penyusunan SK Masyarakat Adat di Kabupaten Pandeglang.
  3. Konsolidasi penyusunan PERDA Masyarakat Adat di Kabupaten Sukabumi dan Bogor.
  4. Advokasi pemetaan wilayah dan hutan adat.
  5. Melanjutkan perjuangan penetapan desa adat.
  6. Memperkuat implementasi PERDA Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.
  7. Mendorong partisipasi pemuda dan perempuan adat.

Deklarasi Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Banten Kidul

Lebak, 22 Maret 2022 – Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TaNa Halisa) menggelar koordinasi multistakeholder untuk menyamakan persepsi batas kewenangan pengelolaan hutan adat fungsi konservasi di kawasan wisata Gunung Luhur, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Selasa (22/3). Masyarakat adat Banten Kidul yang tinggal di Kabupaten Bogor dan Sukabumi Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak Provinsi Banten turut hadir yang didukung dengan nara sumber dari berbagai figur penting terkait masyarakat adat Lebak, yaitu Wakil Bupati Lebak, H. Edi Sumardi, S.E.; Ketua Satuan Adat Banten Kidul (SABAKI), H. Sukanta, M.Pd.; Ketua Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan (MPMK), Junaedi Ibnu Jarta; dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Banten, Enong Suhaeti; serta Kepala Balai TN Gunung Halimun Salak, Ahmad Munawir, S.Hut, M.Si.

Semua peserta bersepakat untuk mendukung pengakuan legalitas hutan adat oleh negara agar dapat dikelola oleh kasepuhan dengan membacakan deklarasi Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Banten Kidul, yakni (1) Mengakui dan menghormati hak semua orang, keberagaman, kekayaan peradaban dan kebudayaan, yang merupakan warisan bersama umat manusia;
(2) Melakukan upaya pemanfaatan, perlindungan dan pemulihan sumber daya alam yang berada di wilayah hukum adat Kasepuhan Banten Kidul secara bertanggungjawab dan berkelanjutan dan (3) Mendukung dan terlibat dalam upaya-upaya konservasi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak guna berkelanjutan budaya dan kearifan lokal masyarakat hukum adat Kasepuhan Banten Kidul.

Memanfaatkan momen kebersamaan ini, Wakil Bupati Lebak, H. Ade Sumardi, S.E., juga melepasliarkan seekor Elang Jawa yang beliau beri nama Yudisthira, di mana arti nama tersebut berarti memiliki hati yang baik dalam memperjuangkan rakyat atau masyarakatnya.

Seren Tahun, Komunikasi Politik Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul

SEREN Taun yang dilaksanakan satu tahun sekali di Kasepuhan Adat Banten Kidul ternyata tidak hanya peristiwa kebudayaan semata, namun juga menjadi wahana komunikasi politik masyarakat adat dengan pemangku kebijakn. Lobi-lobi tersebut dibangun untuk sebuah upaya penegakan eksistensial pengakuan dari negara dan pemerintah dae

 

rah atas keberadaan masyarakat adat serta pengakuan atas hutan adat Kasepuhan Banten Kidul.

Hal itu mengemuka dalam Seri Diskusi Girang mingguan yang digelar Laboratorium Banten Girang dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten saat membahas buku “Berjuang Menegakan Eksistensi (Komunikasi politik masyarakat Kasepuhan Banten Kidul)” hasil disertasi dosen Universitas Serang Raya (Unsera) Abdul Malik, Senin (22/06/2020).

“Sebab seren taun di sisi lain menjadi wahana yang bisa dikatakan juga sebagai wahana lobi-lobi dan negosiasi kepada pejabat publik di Lebak, serta kepada setiap calon anggota eksekutif dan legislatif yang memiliki kepentingan suara pada masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul. Dalam artian seren taun bukan hanya memiliki makna budaya reflektif atau rekreatif, namun lebih dari itu seren taun merupakan media komunikasi menegakan eksistensi,” kata Malik sambil mengingat-ingat kembali saat melakukan penelitian sembilan tahun lalu di Kasepuhan Adat Cisungsang.

Tukar guling kepentingan antara masyarakat adat kasepuhan dan pejabat publik serta calon anggota legislatif dan eksekutif, memilik capaian kepentingannya masing-masing. Pada masyarakat adat, mereka memiliki kepentingan agar Pemkab Lebak membuat Perda tentang perlindungan, penghormatan, dan pengakuan, hukum adat.

“Sebab muncul permasalahan, wilayah kasepuhan yang terancam tersingkir dari tempat yang ditinggali sekian ratus tahun akibat ekspansi Tman Nasional Gunung Halimun Salak. Serta terancam hilangnya identitas adat sebagai pelestari lingkungan dan peladang. di pihak calon anggota legislatif dan eksekutif, kepentingannya adalah basis suara untuk kemenangan salah satu calon pada saat pemilu,” ujar Malik.

Menurut Malik, strategi kebudayaan seperti Seren Taun yang kemudian menjadi strategi politik tidak dapat dihindari, sebab ada capaian-capaian yang harus terpenuhi di antara kedua pihak.

Seri Diskusi Girang juga mengundang Hendriana sebagai bintang tamu dari Kasepuhan Banten Kidul. Beliau menambahkan bahwa ada beberapa sesi ritual pada saat seren tahun yang memang tidak diikuti oleh orang-orang diluar kasepuhan. Sebab rangkaian acara seren tahun akan selalu dilakukan pada hari senin. Dan acara keramaian yang mengundang banyak orang akan dilaksanakan pada hari minggu. Dan biasanya seren tahun akan dihadiri oleh para calon eksekutif dan legislatif yang memiliki kepentingan suara.

Hendriana menjelaskan, Seren Taun merupakan pertanda selesainya siklus bercocok tanam, dan berlanjut pada acara syukuran. Dalam artian Seren Taun jjuga dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada yang maha esa pada panen tahun ini. Dengan demikian, makna lain seren taun adalah usaha menegakan eksistensial. Dalam buku Abdul Malik, kata Hendriana, seren taun hanya sebagai sub bagian dalam pengkajian.

“Sebab komunikasi politik yang dilakukan masyarakat kasepuhan tidak hanya dilakukan pada saat seren taun saja. Namun juga berlangsung dalam berbagai momentum dan medium. Sisi positif pada cakupan buku ini adalah terbangunnya pemahaman secara komprehensif tentang apa, siapa, dan bagaimana masyarakat kasepuhan banten kidul dalam menegakkan eksistensinya,” tandasnya.

Sementara itu, Koordinator Program Diskusi, Jafra mengatakan, Seri Diskusi Girang akan terus berlanjut pada sesi diskusi-diskusi di setiap minggunya dengan tema yang baru. Ia berharap diskusi mingguan dapat menjadi wahana baru ang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Warga Baduy Temui Kasepuhan Bayah

26 warga adat Baduy Luar dan lima warga adat Baduy Jero (Baduy Dalam) utusan Tangtu Tilu, menemui Kasepuhan Bayah.

Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Kampung Cikeusik untuk melakukan ritual menyelamati hutan (Salamet Leuweung) di kawasan Gunung Madur, Gunung Kembang, dan Karang Bokor yang di dalam wilayah adat Kasepuhan Bayah.

Lokasi tersebut merupakan salah satu hutan titipan masyarakat Adat Baduy selain Gunung Liman yang sebelumnya viral diduga akibat penambangan liar.

Sebanyak lima orang Baduy Jero yang diwakili Ayah Yalis, Ayah Asid, Ayah Yama, Karmain, dan Sanip, tiba di Kasepuhan Bayah pada Sabtu (4/9/2021). Setelah selesai ritual, rombongan Baduy Jero kembali menemui Kasepuhan Bayah menyampaikan hasil ritual sekaligus meminta izin untuk kembali ke Kampung Cikeusik.

Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar

Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 644-an tahun lalu (1368 M). Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Leuit bagi warga kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi, melainkan berkaitan dengan simbol penghormatan pada Dewi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi. Setiap kali panen, mereka menyimpan 10% padi di leuit sehingga tidak heran jika di sana terdapat padi yang usianya ratusan tahun. Bagi warga kasepuhan Ciptagelar, padi merupakan kehidupan, bila seseorang menjual beras atau padi, berarti menjual kehidupannya sendiri.

 

Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memiliki keterikatan sejarah dengan salah satu kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Siliwangi, Kasepuhan Banten Kidul, dengan pusat pemerintahan berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kampung Gede Ciptagelar, Cikarancang, Cicemet, Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kesepuhan. Kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptarasa menyebut diri sebagai Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi.

Mengenal Kasepuhan Cisungsang di Banten

Cisungsang, jika ditelusuri artinya, kata tersebut dibentuk oleh dua kata dalam bahasa Sunda, yakni ci dan sungsang. Kata ci merupakan singkatan dari cai yang berarti air, sedangkan sungsang berarti terbalik atau berlawanan dengan keadaan yang seharusnya. Dengan demikian, nama Cisungsang dapat diartikan air yang mengalir kembali ke hulu. Sementara itu dalam Kamus Bahasa Sunda Lama, sungsang merupakan nama sejenis tumbuhan yang berbau dan agak beracun, menyerupai tanaman anggrek. Dalam tradisi Sunda, merupakan satu kelaziman menamai suatu tempat dengan mengambil nama sungai atau tanaman yang banyak tumbuh di sekitar tempat tersebut. Kini, Cisungsang merupakan nama sungai, desa, juga kasepuhan.

Kasepuhan Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, tepatnya masuk dalam wilayah Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dari ibu kota Provinsi Banten, yakni kota Serang, menuju Desa Cisungsang harus menempuh jarak sepanjang 200 km, yang setara dengan 5 jam perjalanan. Lokasinya tidak sulit dijangkau karena akses sarana dan alat transportasinya sudah tersedia dengan kondisi yang relatif baik.

Dahulu, tanah Cisungsang dipandang sebagai tanah titipan dari Prabu Walangsungsang. Dia adalah raja Pajajaran yang telah mengalami situasi Ilang Galuh Pajajaran. Dia dipercaya sebagai raja yang tidak mempunyai istana. Kesederhanaannya digambarkan dengan hidup beratap hateup salak dan bertiang cagak agar mudah menempatkan kayu di atasnya. Salah satu keturunannya adalah Mbah Rukman, yang diyakini sebagai orang pertama yang membuka dan membangun Kampung Cisungsang, yang kini telah meluas menjadi sebuah desa, yakni Desa Cisungsang. Tidak kurang dari 9 kampung ada di wilayah Desa Cisungsang, di antaranya Kampung Cipayung, Lembur Gede, Pasir Kapundang, Babakan, Sela Kopi, Pasir Pilar, Gunung Bongkok, Suka Mulya, dan Bojong.

Karakter khas Desa Cisungsang berupa kombinasi antara kampung dan sawah pada daerah lembah yang subur. Sebelum tahun 1960-an, sebagian wilayah Desa Cisungsang diwarnai hamparan huma ‘ladang atau lahan kering yang ditanami padi’. Karena hasil ngahuma dianggap sedikit, lahan persawahan pun dibuka agar dapat memperoleh hasil padi yang maksimal. Ladang ‘huma’ ditinggalkan dan beralih fungsi menjadi kebun yang ditanami buah-buahan, pohon kayu albasiah, dan cengkeh.

Sekarang, Cisungsang sudah menjadi permukiman yang cukup padat, dengan deretan rumah yang tampak berhimpitan satu dan lainnya. Umumnya, rumah-rumah dibangun secara permanen, berdinding bata dan beratap genting. Namun, masih ada sejumlah rumah panggung, yang berbahan baku kayu dan bambu serta beratap nipah. Konstruksi rumah seperti itu, di antaranya tampak di kawasan yang disebut Padepokan Pasir Koja.

Padepokan Pasir Koja tepat berada di pintu gerbang masuk Desa Cisungsang, dan menempati tanah yang cukup luas di atas lereng perbukitan. Di dalam area tersebut terdapat rumah ketua adat Kasepuhan Cisungsang yang cukup besar. Rumah tersebut menjadi tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan adat. Di rumah itu pula, ketua adat menerima tamu dan warga komunitas kasepuhan yang memerlukan bantuannya. Bahkan, tak sedikit dari para tamu yang datang ke sana, mendapat kesempatan untuk menginap di tempat tersebut.

Tidak jauh dari rumah ketua adat, berdiri beberapa rumah panggung berukuran kecil. Penghuninya adalah para pemangku adat yang bekerja membantu kelancaran tugas ketua adat. Di sana juga terdapat lahan persawahan, leuit ‘lumbung padi tradisional’ milik kasepuhan, juga saung lisung ‘tempat menumbuk padi’.

Padepokan Pasir Koja merupakan pusat Kasepuhan Cisungsang. Dari sanalah ketua adat mewarisi dan menjaga tanah titipan karuhun, menjalankan amanat adat, dan melindungi masyarakat dari serangan kebudayaan baru yang sulit dibendung. Selain itu, dari Padepokan Pasir Koja pula dia memimpin masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang, sesuai aturan adat yang menata hubungan sosial antarsesama warga kasepuhan. Aturan tersebut terkristalkan dalam lembaga adat Kasepuhan Cisungsang.

Struktur lembaga adat Kasepuhan Cisungsang diduduki para pejabat adat yang terdiri atas abah (ketua adat), penasehat, dukun, paraji, panei, bengkong, amil, dan rendangan. Pimpinan tertinggi dalam struktur kasepuhan itu adalah abahAbah adalah sebuah jabatan yang dipegang oleh keturunan dari cikal bakal pembuka Kampung Cisungsang, yakni Mbah Rukman. Keturunan Mbah Rukman adalah orang yang memiliki hak penuh untuk memimpin Kasepuhan Cisungsang atau menjadi ketua adat. Hanya anak laki-laki yang akan mewarisi tampuk kepemimpinan, yang penunjukannya terjadi melalui proses wangsit ‘petunjuk mimpi’ dari leluhur.

Sebagai ketua adat, abah memiliki keahlian dalam bidang pertanian, baik teknis maupun simbolis. Selain itu, dia juga bertindak sebagai pemberi doa dan restu bagi segala kegiatan yang akan dilaksakanan warga Kasepuhan Cisungsang. Jika abah tidak merestui, warga tidak akan berani melanggarnya. Pelanggaran terhadap larangan dari abah dipercaya akan mendatangkan petaka, seperti sakit, gagal dalam aktivitas ekonomi, bahkan hingga meninggal. Jika pelanggaran terlanjur dilakukan, ada ritual khusus yang dapat mencegah pelanggarnya tertimpa musibah. Ritual itu dinamakan lukun, yaitu semacam pengakuan dosa yang dilakukan dengan melaksanakan ritual tertentu disertai doa-doa.

Sampai saat ini, kepemimpinan di Kasepuhan Cisungsang telah mencapai empat generasi. Nama-nama ketua adat dari generasi pertama hingga yang keempat adalah Embah Buyut yang mencapai usia sekitar 350 tahun, Uyut Sarkim yang berusia sekitar 250 tahun, Olot Sardani yang berumur 126 tahun; dan Abah Usep. Dalam menjalankan tugasnya, abah dibantu seorang penasihat, yang bertugas memberikan berbagai pertimbangan, dan sekaligus sebagai utusan abah yang melaksanakan tugas-tugas kasepuhan. Kedua pemimpin adat itu juga dibantu beberapa orang yang memiliki keahlian khusus. Mereka terdiri atas dukun, yakni orang yang bertanggung jawab menangani kesehatan, ritual pertanian, dan siklus hidup; paraji, yakni seorang perempuan yang bertanggung jawab menangani masalah kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi; panei, yakni orang yang bertanggung jawab menyediakan perkakas kerja dalam bidang pertanian dan kebun; bengkong, yakni orang yang bertanggung jawab menangani dan membantu masyarakat dalam acara khitanan. amil, orang yang bertanggung jawab menangani dan membantu masyarakat dalam urusan pengelolaan zakat, pernikahan, kematian, dan kelahiran. Dalam hal ini, dia bekerja sama dengan aparat pemerintahan desa serta kecamatan; yang terakhir adalah rendangan, yaitu orang yang ditunjuk secara turun temurun menjadi wakil abah di sejumlah kampung .

Masyarakat Kasepuhan Cisungsang merupakan kelompok suku Sunda, Oleh karena itu, bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga mampu berbahasa Indonesia relatif baik jika harus berkomunikasi dengan tamu yang bukan orang Sunda. Selain melalui pendidikan formal, kemampuan berbahasa Indonesia semakin terasah dari mereka yang merantau untuk bekerja mencari nafkah di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Sukabumi.

Sekalipun ada warga masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang yang bekerja jauh dari tempat asalnya, mata pencaharian utama mereka umumnya adalah bertani. Ada juga yang bekerja sebagai pedagang, pekerja perusahaan tambang, menjadi pegawai negeri, dan buruh di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Sukabumi.

Khusus untuk kegiatan bertani, abah berperan sebagai komando yang harus diikuti oleh warganya. Dengan kata lain, dalam setiap sesi pertanian selalu diawali oleh abah kemudian baru diikuti oleh warga. Proses ini menjadi semacam upaya pelestarian tradisi bertani yang diwariskan leluhur, sekaligus juga menjadi filter bagi teknologi pertanian baru yang akan masuk dalam pertanian di Kasepuhan Cisungsang. Dalam beberapa hal, abah cukup akomodatif mengadopsi program pemerintah di bidang pertanian, selama hal itu tidak akan mengganggu tatanan harmoni kehidupan yang telah digariskan leluhur.

Aktivitas pertanian masyarakat Kasepuhan Cisungsang sarat dengan kearifan lokal, baik dalam wujud pengetahuan maupun tradisi bertani. Ada pantangan-pantangan yang harus dipatuhi, ada pula beragam ritual upacara tradisional yang senantiasa menyertai setiap tahapan aktivitas pertanian. Beberapa upacara tersebut adalah upacara Nibakeun Sri ka Bumi, Ngamitkeun Sri ti Bumi, Ngunjal, Rasul Pare di Leuit, dan Seren Taun.

Pelaksanaan upacara tradisional tadi biasanya diwarnai dengan pertunjukan kesenian tradisional. Sedikitnya ada dua jenis kesenian yang digelar, seperti angklung buhun dan dog-dog lojor. Fungsinya bukan semata-mata sebagai hiburan, melainkan juga sebagai penolak bala untuk mengusir kekuatan buruk yang akan mengganggu kelancaran pelaksanaan kegiatan bertani. Khusus dalam upacara Seren Taun, tidak hanya dua kesenian yang ditampilkan tetapi melibatkan hampir semua jenis kesenian tradisional yang ada di wilayah Kasepuhan Cisungsang. Kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di wilayah itu adalah angklung buhun, dogdog lojor, sisindiran atau pantun, ngagondang, wayang golek, ujungan, silat baster, rengkong, celempung, karinding, dan betok.

Masih ada ritual upacara lainnya yang diselenggarakan masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang, selain ritual upacara pertanian. Sejumlah upacara tersebut meliputi upacara bulan purnama yang dilaksanakan 12 kali dalam setahun saat bulan purnama pada tanggal 14; upacara ngukus di padaringan setiap Minggu malam dan Rabu malam; upacara prah-prahan, yang dilaksanakan untuk membuat penolak bala berupa sawen, pada Jumat pertama bulan Muharam; upacara Rasul Mulud, yang dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis setelah tanggal 14 pada bulan Mulud; dan upacara munar lembur yang dilaksanakan lima tahun sekali.

Masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang masih memelihara religi atau kepercayaan leluhurnya yang termanifestasikan dalam adat istiadat mereka. Berbagai aspek kehidupan diwarnai dengan aturan adat, seperti dalam membangun rumah, berkaitan dengan daur hidup manusia, dan aktivitas ekonomi. Yang lebih utama lagi, mereka menjalankan aktivitas peribadatan sesuai keyakinan yang dianutnya, yakni agama Islam. Dalam hal ini, agama dan tradisi berjalan seirama mengatur kehidupan warga masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang.